Jro Kadi, Pemangku Pura Dalem Balingkang

Jro Kadi, Pemangku Pura Dalem Balingkang

 06 Sep 2013 

Jadi Pemangku Usia 15 Tahun, Bercita-cita Jadi Tentara
PEMANGKU adalah perantara penyaji mantra ketika umat Hindu melakukan ritual persembahyangan. Tugas pemangku adalah melayani umat, menuntun umat dan mencerahkan umat, sangat mulia.
I Nengah Kadi, itulah nama remaja berusia 22 tahun asal desa Pingga, Kecamatan  Kintamani-Bangli. Siapa sangka remaja ini sudah menjadi seorang pemangku (pinandita-ekajati) sedari ia berumur 15 tahun. Saat ditemui di kediamanya,belum lama ini, Kadi meneceritakan bagaimana awal sampai pada akhirya dia menjadi seorang yang bergelar mangku.
Remaja ini ditasbihkan menjadi mangku sejak tahun 2006 lewat prosesi ritual kepemilihan mangku di Pura Dalem Balingkang yang merupakan salah satu Kahyangan Jagat di Bali. “Saya menjadi pemangku sejak tahun 2006, tepatnya 26 oktober, pada saat itu saya masih berumur 15 tahun dan masih bersekolah di salah satu SMA di Bangli. Sejak itulah saya menjadi pemangku di Pura Dalem Balingkang,” ungkap Kadi yang baru saja menyelesaikan studinya di IHDN Denpasar.
Ketika Pos Bali menanyakan bagaimana bisa dirinya terpilih menjadi pemangku, Kadi terdiam seakan kesulitan dan kebingungan untuk menjawabnya. “Nah, ini yang sulit saya jawab, saya kembalikan kepada sang causa prima (penyebab tunggal) Ida Sang Hyang Widhi Wasa, hanya beliau yang tahu bagaimana dan kenapa saya bisa menjadi pemangku. ”
“Jujur saja, dalam diri saya tidak ada kelebihan yang bisa saya tonjolkan, apa alasan Tuhan untuk memilih saya, sampai saat ini saya belum menemukan jawabanya. Saya hanya menjalankan kewajiban saya dengan sebaik-baiknya,” tandas pria penggemar band underground asal Ujung Berung-Bandung (Burgerkill).
Secara kronologis, mangku Kadi menjelaskan saat dirinya terpilih menjadi pemandu umat. Posisi pemangku di Pura Dalem Balingkang sedang kosong dalam artian tidak ada pengayah (pemangku) pada saat itu, hal ini dikarenakan Jero Gede yang biasanya ngayah sudah berusia senja dan beliau mulai sakit-sakitan. Karena kondisi fisik tidak memungkinkan akhirnya beliau mengundurkan diri.
Situasi seperti itu membuat masyarakat Desa Pingga membuat kesepakatan mencari seorang pemangku lagi untuk mengisi posisi yang ditinggalkan oleh Jero Gede yang sudah meletakan jabatan ngayah di Pura Dalem Balingkang, dalam istilahnya Jero Kadi menyebut (nyanjan di pura).
“Yang pertama saya tidak pulang kampung waktu itu karena bertepatan dengan hari sekolah, namun pada kesempatan yang kedua bertepatan dengan libur sekolah. Sesampai dirumah, saya mendengar kalau dipura diadakan acara nunas Pemangku. Saya tidak memiliki firasat apapun,” ujarnya.
Singkat cerita, Kadi menuturkan pada Pos Bali saat itu masyarakat Desa Pingga berduyun-duyun mendatangi Pura untuk sembahyang bersama juga sekaligus nunas pemangku. Ia sama sekali tidak memiliki firasat apapun, ia mengaku ikut serta dan berdoa semoga Tuhan memberikan pemangku yang bagus dan rajin ngayah.
“Dari awal saya tidak memiliki firasat apapun, Cuma tenang dan berharap ida Bhatara memeberikan pemangku yang rajin ngayah,” pungkas Kadi.
Waktu itu Kadi duduk di barisan ke-4 dari depan, upacara dipimpin oleh Ida Pedanda dari Griya Siladan Bangli. Setelah mepuja, beliau memegang dupa kurang lebih 25 batang.
“Mungkin pada saat itu Ida Pedanda sudah mengetahui siapa yang akan menjadi pemangku berikutnya, Ida Pedanda kemudian menuju ke tempat krama desa bersembahyang sembari membawa dupa. Sempat lewat didepan saya tiba-tiba beliau kembali menuju kea rah saya lagi, beliau langsung memegang kepala saya. Pada saat itu secara sadar saya merasa wajah saya dibakar oleh dupa namun anehnya saya sama sekali tidak merasa panas ataupun sakit,” tambah Jero Kadi.
Setelah membakar wajahnya dengan dupa, Jero Kadi kemudian mengaku disuruh untuk mematikan seluruh dupa tersebut dengan tangannya. Kembali lagi ia mengalami kebingunan dimana saat dia mematikan semua dupa dengan tangan namun sama sekali tidak terjadi apa-apa dengan tangannya, kemudian ia diajak duduk ke arah prajuru desa yang kebetulan pada sat itu ayah Jero Kadi merupakan salah satu prejuru desa.
“Ketika ayah saya melihat saya yang akan menjadi pemangku, tiba-tiba beliau berlari keluar Pura, sepertinya beliau sedih dan belum iklas. Sampai kemudian beliau kembali ke dalam Pura dan diantar oleh prejuru yang lainnya, beliau akhirnya mengiklaskan anaknya menjadi seorang pemangku Pura Kahyangan Jagat Dalem Balingkang,” papar Kadi.
Dia mengaku kalau sebelumnya sudah ada tanda-tanda seperti mimpi bertemu dengan leluhur kemudian duduk bersama dan diajarkan sesuatu oleh beliau. “Selain mimpi, ada juga tanda-tanda lain seperti ketika saya mencukur rambut setelahnya saya sakit selama 7 hari, apakah itu sebuah pertanda atau kebetulan saja, saya kurang mengerti,” tandas pria yang hobi mengolekasi buku agama ini.
“Perasaan saya tidak menentu, menjadi pemangku tentu bukan menjadi cita-cita saya, saya tidak bisa membayangkan kehidupan menjadi pemangku yang penuh dengan ikatan, terlebih pada umur saya yang tergolong remaja. Setelah mawinten selalu muncul pertanyaan yang sama dari hari-kehari, kenapa harus saya? Sedangkan saya memiliki cita-cita menjadi TNI, pertanyaan itu selalu muncul seakan-akan ini sebuah cerminan kalau saya tidak iklas dengan kondisi nyata seperti ini,” tutur Jero Kadi.
Tahun 2009 dia melanjutkan studinya ke perguruan tinggi (IHDN). Di sana Kadi mempelajari agama Hindu lebih mendalam sedikit demi sedikit ia mengaku menemukan titik terang atas apa yang menjadi pertanyaanya selama ini. Ia menjawab pertanyaanya sendiri dengan lugas dan pasti bahwasannya hidupnya yang sekarang adalah karma dimasa lalunya.
“Bisa dibilang sekarang ini saya menikmati kehidupan menjadi seorang pemangku, belum tentu orang seumur saya bisa menjadi seperti saya. Bisa bergaul dengan orang banyak, bisa memepersembahkan sesuatu kepada umat, saya menjalani ini dengan nikmat dan syukur,” tambahnya.
Jero Kadi sangat berharap semua pemangku diberikan perhatian dari pemerintah maupun masyarakat. “Saya berharap ada perhatian khusus untuk semua pemangku umat Hindu di Indonesia, dalam konteks ngayah sama sekali kita tidak bisa tawar menawar dan meninggalkan umat, bagaimana bisa mencari kerja? tentunya sangat sulit, hal inilah yang perlu dibidik khusus oleh pemerintah mengenai kesejahteraan pemangku, karena apa? karena pemangku juga manusia, punya keluarga, punya anak dan cucu yang juga berkebutuhan normal,”
Dalam konteks edukasi Kadi menambahkan pentingnya pendidikan formal dan non-formal untuk para pemangku. “ Perhatian pendidikan juga tidak kalah penting, saya melihat pemangku kita agak tertinggal dari rohaniawan agama lain, tentunya sebagai rohaniawan agama kita harus bisa menguasai nilai-nilai teologis dan filsafat agama kita sendiri karena masyarakat sekarang sudah mulai kritis, dan untuk menghindari jawaban (nak mule keto alias gugon tuwon) maka harus ada edukasi yang memadai. Jadi pendidikan formal dan non-formal sangat perlu diberikan untuk semua pemangku,” ungkapnya dengan tegas.
Jero Mangku Kadi Dalem Balingkang juga berpesan agar mangku itu harus punya passion, ia menilai menjadi mangku adalah kehidupan yang mulia penuh dengan kewajiban-kewajiban yang luhur. Kewajiban mangku adalah dharma dan yadnya yang utama.***

sumber : www.posbali.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar